Demokrasi dan Pemilu Menurut Muhammadiyah
Demokrasi yang
berkembang di Indonesia masih dianggap bersifat procedural. Anggapan ini
akhir-akhir ini berkonotasi negative karena praktik pemilu yang bertentangan
dengan prinsip bebas dan adil. Ketidak-beranian untuk memutuskan system pemilu
yang tegas, apakah menggunakan system distrik, system proporsional, atau
gabungan keduanya, hanya menimbulkan praktik pemilu yang disertai jual-beli
suara, penggelembungan suara, politik uang dan kanibalisme politik yang
ditandai oleh rivalitas antar calon dalm satu partai politik.
Di tengah
suasana dimana integritas dan kejujuran politik, praktik demokrasi kita masih
diwarnai oleh banyak penyelenggara pemilu yang partisandan tidak netral.
Dalam situasi
demikian, sulit diharapkan demokrasi procedural bisa berjalan seiring dengan
demokrasi substansial, dimana kepentingan masyarakat terdahulukan daripada kepentingan
kelompok dan perseorangan.
Kenyataan bahwa
Indonesia terdiri dari ratusan pemerintahan kabupaten/kota dan puluhan
pemerintahan provinsi, system pemilu yang ada secara teoritis memungkinkan
terselenggaranya pemilukada setiap hari.
Proses-proses
politik berbiaya tinggi ini meneguhkan kepercayaan public akan terjadinya
pemborosan uang Negara di satu pihak, dan keharusan untuk mengivestasikan modal dalam jumlah besar bagi para pelaku politik
di pihak lain. Hal ini semakin memperbesar kemungkinan pekerja politik untuk
melakukan penyelewengan jabatan dan kekuasaan.
Kesemuanya ini
hanya akan semakin menjauhkan cita-cita bersama bahwa kehadiran Negara dengan
seluruh aparat pemerintahannya adalah untuk melayani masyarakat.
Comments
Post a Comment