Fakta-Fakta Rokok Menurut Muhammadiyah
Fatwa hukum rokok yang telah
dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tadjij PP Muhammadiyah telah didasarkan
kepada fakta-fakta yang terdapat dalam rokok dan telah menjadi consensus kalangan
medis dan ilmiah di dunia.
Fakta-fakta rokok menurut Muhammadiyah
adalah sebagai berikut :
1.
Penggunaan untuk konsumsi dalam bentuk
rokok merupakan 98 % dari pemanfaatan produk tembakau, dan hanya 2 % untuk
penggunaan lainnya.
2.
Rokok ditengarai sebagai produk
berbahaya dan adiktif serta mengandung 4000 zat kimia, di mana 69 di antaranya
adalah karsinogenik (pencetus kanker). Beberapa zat berbahaya di dalam rokok
tersebut di antaranya tar, sianida, arsen, formalin, karbonmonoksida, dan
nitrosamin. Kalangan medis dan para akademisi telah menyepakati bahwa konsumsi
tembakau adalah salah satu penyebab kematian yang harus segera ditanggulangi.
Direktur Jendral WHO, Dr. Margaret Chan, melaporkan bahwa epidemi tembakau
telah membunuh 5,4 juta orang pertahun lantaran kanker paru dan penyakit
jantung serta lain-lain penyakit yang diakibatkan oleh merokok. Itu berarti
bahwa satu kematian di dunia akibat rokok untuk setiap 5,8 detik. Apabila
tindakan pengendalian yang tepat tidak dilakukan, diperkirakan 8 juta orang
akan mengalami kematian setiap tahun akibat rokok menjelang tahun 2030. Selama
abad ke-20, 100 juta orang meninggal karena rokok, dan selama abad ke-21
diestimasikan bahwa sekitar 1 milyar nyawa akan melayang akibat rokok.
3.
Kematian balita di lingkungan orang tua
merokok lebih tinggi dibandingkan dengan orang tua tidak merokok baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Kematian balita dengan ayah perokok di perkotaan
mencapai 8,1 % dan di pedesaan mencapai 10,9 %. Sementara kematian balita
dengan ayah tidak merokok di perkotaan 6,6 % dan di pedesaan 7,6 %. Resiko
kematian populasi balita dari keluarga perokok berkisar antara 14 % di
perkotaan dan 24 % di pedesaan. Dengan kata lain, 1 dari 5 kematian balita
terkait dengan perilaku merokok orang tua. Dari angka kematian balita 162 ribu
per tahun (Unicef 2006), maka 32.400 kematian dikontribusi oleh perilaku
merokok orang tua.
4.
Adalah suatu fakta bahwa keluarga
termiskin justeru mempunyai prevalensi merokok lebih tinggi daripada kelompok
pendapatan terkaya. Angka-angka SUSENAS 2006 mencatat bahwa pengeluaran
keluarga termiskin untuk membeli rokok mencapai 11,9 %, sementara keluarga
terkaya pengeluaran rokoknya hanya 6,8 %. Pengeluaran keluarga termiskin untuk
rokok sebesar 11,9 % itu menempati urutan kedua setelah pengeluaran untuk
beras. Fakta ini memperlihatkan bahwa rokok pada keluarga miskin perokok menggeser
kebutuhan makanan bergizi esensial bagi pertumbuhan balita. Ini artinya balita
harus memikul risiko kurang gizi demi menyisihkan biaya untuk pembelian rokok
yang beracun dan penyebab banyak penyakit mematikan itu. Ini jelas bertentangan
dengan perlindungan keluarga dan perlindungan akal (kecerdasan) dalam maq±¡id
asy-syar³‘ah yang menghendaki pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta
pengembangan kecerdasan melalui makanan bergizi.
5.
Dikaitkan dengan aspek sosial-ekonomi
tembakau, data menunjukkan bahwa peningkatan produksi rokok selama periode
1961-2001 sebanyak 7 kali lipat tidak sebanding dengan perluasan lahan tanaman
tembakau yang konstan bahkan cenderung menurun 0,8 % tahun 2005. Ini artinya
pemenuhan kebutuhan daun tembakau dilakukan melalui impor. Selisih nilai ekspor
daun tembakau dengan impornya selalu negatif sejak tahun 1993 hingga tahun
2005. Selama periode tahun 2001-2005, devisa terbuang untuk impor daun tembakau
rata-rata US$ 35 juta. Bagi petani tembakau yang menurut Deptan tahun 2005
berjumlah 684.000 orang, pekerjaan ini tidak begitu menjanjikan karena beberapa
faktor. Mereka umumnya memilih pertanian tembakau karena faktor turun temurun.
Tidak ada petani tembakau yang murni; mereka mempunyai usaha lain atau menanam
tanaman lain di luar musim tembakau. Mereka tidak memiliki posisi tawar yang
kuat menyangkut harga tembakau. Kenaikan harga tembakau tiga tahun terakhir
tidak membawa dampak berarti kepada petani tembakau karena kenaikan itu
diiringi dengan kenaikan biaya produksi. Pendidikan para buruh tani rendah, 69
% hanya tamat SD atau tidak bersekolah sama sekali, dan 58 % tinggal di rumah
berlantai tanah. Sedang petani pengelola 64 % berpendidikan SD atau tidak
bersekolah sama sekali dan 42 % masih tinggal di rumah berlantai tanah. Upah
buruh tani tembakau di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK): Kendal 68 % UMK,
Bojonegoro 78 % UMK, dan Lombok Timur 50 % UMK. Upah buruh tani tembakau
termasuk yang terendah, perbulan Rp. 94.562, separuh upah petani tebu dan 30 %
dari rata-rata upah nasional sebesar Rp. 287.716,- per bulan pada tahun
tersebut. Oleh karena itu 2 dari 3 buruh tani tembakau menginginkan mencari
pekerjaan lain, dan 64 % petani pengelola menginginkan hal yang sama. Ini
memerlukan upaya membantu petani pengelola dan buruh tani tembakau untuk
melakukan alih usaha dari sektor tembakau ke usaha lain.
6.
Pemaparan dalam Halaqah Tarjih tentang
Fikih Pengendalian Tembakau hari Ahad 21 Rabiul Awal 1431 H / 07 Maret 2010 M,
mengungkapkan bahwa Indonesia belum menandatangani dan meratifikasi Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga belum ada dasar yang kuat untuk
melakukan upaya pengendalian dampak buruk tembakau bagi kesehatan masyarakat.
Selain itu terungkap pula bahwa cukai tembakau di Indonesia masih rendah
dibandingkan beberapa negara lain sehingga harga rokok di Indonesia sangat
murah yang akibatnya mudah dijangkau keluarga miskin dan bahkan bagi anak
sehingga prevalensi merokok tetap tinggi. Selain itu iklan rokok juga ikut
merangsang hasrat mengkonsumsi zat berbahaya ini.
Comments
Post a Comment